OM Suastiastu
OM Awighnamastu
Rasa bakti dan kepatuhan mendalam pada pitutur leluhur bisa menjadikan tradisi dan warisan leluhur ajeg menembus batas jaman. Di Puri Pinatih, Denpasar, contohnya. Harta warisan berupa Siwa Upakarana (peralatan pemujaan bagi pendeta Hindu berpaham Siwa) dan Pustaka Weda dalam bentuk lontar, tetap tersimpan utuh, hingga awal abad ke-21 sekaligus milenium ketiga ini. Padahal harta warisan itu merupakan harta warisan pendeta linuwih di tanah Jawa, bernama Mpu Sedah, dari abad ke-12. Itu berarti sepanjang 10 abad harta warisan itu diselamatkan, dirawat dan dilestarikan.
Begitu juga dengan tradisi kependetaan (kawikon) yang diajarkan oleh Mpu Sedah pada abad ke-12, tetap mengalir bening, dijalankan di Puri Agung Pinatih yang terakhir oleh Ida Padanda Rsi Agung Pinatih. Menjadi pendeta sejak usia belia, berumur 34 tahun (tahun 1940). Ida Rsi Agung tetap setia, menjalankan kewajiban sebagai sulinggih, menjaga alir bening tugas kerohanian yang diajarkan Mpu Sedah. Rsi Agung Pinatih mengabdikan diri sebagai sulinggih, menjadi pelayan umat, bahkan jauh sebelum lembaga Parisada sebagai Majelis Umat tertinggi di Indonesia terbentuk, boleh dikatakan sebagai penghidup kembali tradisi kawikon yang diamanatkan Mpu Sedah itu bagi keluarga besar Arya Wang Bang Pinatih. Karena tradisi kawikon itu sempat cukup lama tidak ada yang meneruskan di Bali, sampai akhirnya I Gusti Ngurah Gede pada abad ke-20 itu menyambung kembali aliran tradisi itu, hingga kemudian ber-abhiseka Rsi Agung Pinatih, sesuai dengan bhisama yang diamanatkan Mpu Sedah, kepada warga keturunan Arya Wang Bang Pinatih. Tapi, apa kaitan antara Pinatih dengan Mpu Sedah dan bagaimana kaitan itu terjalin ?
Continue reading →