Tradisi Mepantigan

Terinspirasi oleh pelukis Walter Spies yang pada tahun 1930-an dengan seniman Tari Bali Wayan Limbak menggagas Tarian Kecak, I Putu Winset Widjaya, seorang seniman beladiri menciptakan seni beladiri baru yang mengambil gerakan pencak kuno Bali sebagai dasarnya. Pencak tradisional Bali seperti Sitembak, 7 harian, dan Depok yang biasa juga disebut sebagai Tengklung dipadukanlah dengan drama, Tari Bali dan jurus-jurus beladiri seperti Tae Kwon Do, Capioera dan lain-lain.

Jadilah sebuah aliran bela diri baru yang diberi nama dalam Bahasa Bali sebagai Mepantigan, yang artinya saling membanting.

Dua orang petarung turun ke kubangan lumpur dipimpin seorang wasit. Di pinggir lapangan lumpur duduk beberapa juri. Satu pertandingan berlangsung dua ronde, setiap ronde tiga menit. Pengatur waktunya terbuat dari bambu berisi air yang memancur hasil rancangan Witsen. Air di bambu habis, habis pula waktu satu ronde.Meski belum banyak dikenal, sejatinya mepantigan sudah diikutsertakan dalam kejuaraan dunia. Itu dilakukan pada Agustus lalu dengan diikuti enam negara asing: Denmark, Jepang, Korea, Inggris, Swedia, dan Belanda.

Continue reading

Tradisi Megibung dari Karangasem

Megibung adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat atau sebagian orang untuk duduk bersama saling berbagi satu sama lain, terutama dalam hal makanan. Tidak hanya perut kenyang yang dperoleh dari kegiatan ini, namun sembari makan kita dapat bertukar pikiran bahkan bersenda gurau satu sama lain.

Megibung berasal dari kata “gibung” yang mendapat awalan “me-“. Gibung berarti kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang yaitu saling berbagi antara orang yang satu dengan yang lainnya, sedangkan awalan “me-” berarti melakukan suatu kegiatan.

Tradisi Megibung merupakan kegiatan yang dimiliki oleh masyarakat Karangasem yang daerahnya terletak di ujung timur Pulau Dewata. Tanpa disadari, Megibung menjadi suatu maskot atau ciri khas Kabupaten Karangasem yang ibu kotanya Amlapura ini. Tradisi Megibung sudah ada sejak jaman dahulu kala yang keberadaannya hingga saat ini masih kerap kali kita dapat jumpai. Bahkan sudah menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat Karangasem itu sendiri di dalam melakukan suatu kegiatan baik dalam upacara keagamaan, adat maupun kegiatan sehari-hari masyarakat apabila sedang bercengkrama maupun berkumpul dengan sanak saudara.

Continue reading

Pura Amerthasari – Tempat Memohon Kemakmuran

Pendahuluan

Berbakti kepada Tuhan bukanlah sekadar untuk berbakti dalam wujud ritual formal. Berbakti pada Tuhan dengan sarana tempat pemujaan dengan berbagai kelengkapannya bukanlah sekadar untuk berbakti untuk menunjukkan bahwa kita sudah beragama. Berbakti pada Tuhan memiliki tujuan yang amat luas.

Pura Amertha Sari

Salah satu tujuan berbakti pada Tuhan untuk menguatkan motivasi hidup dengan mengembangkan aspek spiritual. Dari kuatnya motivasi hidup itulah berbagai kegiatan hidup dapat diselenggarakan dengan tepat, baik dan benar. Salah satu pahala dari terselenggaranya kehidupan yang tepat, baik dan benar itu terwujudnya kehidupan yang sejahtera. Mengembangkan dan memelihara kehidupan yang sejahtera Tuhan dipuja sebagai Dewa Wisnu. Dewi Sri adalah sebagai ”saktinya” Dewa Wisnu dalam menuntun umat manusia dalam mengembangkan dan memelihara kehidupan makmur dan sejahtera itu.

Continue reading

Pura Agung Kentel Gumi

Pura Agung Kentel Gumi sebagai salah satu Pura Kahyangan Jagat di Bali. Pura ini berjarak sekitar 43 km dari kota Denpasar ini, terletak di Desa Tusan, Banjarangkan, Klungkung.

Pada dasarnya, pura merupakan simbol gunung atau alam semesta, tempat suci untuk menghubungkan diri dan memuja kebesaran Hyang Maha Pencipta dengan berbagai prabhawa-Nya. Di sini, Pura Agung Kentel Gumi berfungsi sebagai tempat memuja Tuhan dalam manifestasi-Nya selaku Sang Hyang Reka Bhuwana (pencipta alam semesta).

Pura Kentel Gumi

Berdasarkan lontar “Raja Purana Batur“, Pura Agung Kentel Gumi merupakan salah satu dari Tri Guna Pura atau Kahyangan Tiga Bali, yakni sebagai Pura Puseh Bali, tempat mohon kedegdegan dan kerahayuan jagat. Sementara Pura Batur sebagai Pura Desa-nya, tempat mohon kesuburan, dan Pura Agung Besakih sebagai Pura Dalem-nya, tempat memohon kesucian sekala-niskala. Jadi, Pura Agung Kentel Gumi juga menjadi bagian amat penting sebagai Pura Kahyangan Jagat yang disungsung seluruh umat Hindu.

Continue reading

Catur Purusa Artha dan Tri Hita Karana

Pendahuluan

Setiap orang yang normal, mempunyai tujuan hidup. Bagi yang memeluk agama Hindu, ada empat tujuan hidup manusia, yang disebut dengan Catur Purusa Artha. Yang tergolong Catur Purusa Artha adalah : Dharma, Artha, Kama dan Moksa.

Catur Purusa Artha

Dharma adalah tingkah laku yang mulia dan budi luhur, suci, senantiasa berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama (Hindu), sebagai landasan yang utama, untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan lahir bathin. Di dalam pustaka Wrehaspati Tattwa, didapatkan sloka, sebagai berikut :

Silam yajnas tapas, danam prawrajya bhiksu ewa ca, yogas ca’pi samasena, dharmasya eko winirnayah.

Continue reading

Tradisi Siat Sampian

Di Pulau Bali memang terdapat banyak tradisi sakral, sehingga wajar saja kalau turis mancanegara tak pernah jemu singgah di Bali, bahkan turis turis lokal banyak pula yang hadir bila suatu tradisi digelar. Saking sakralnya maka orang-orang tidak lagi menamakannya plalian tetapi ilen-ilen atau pertunjukan. Ambil contoh misalnya “perang pandan” di Tenganan Pegeringsingan, “Ngrebeg” di Munggu, “Med-medan” di Sesetan, dan masih banyak lagi. Pertunjukan itu selalu dirangkaikan dengan upacara adat-agama setempat.

Siat Sampian


Tradisi Perang/Siat Sampian adalah tradisi yang menjadi pertunjukan perang-perangan dalam suasana bermain. Senjata yang digunakan untuk menyerang adalah rangkaian janur yang disebut sampian. Pertunjukan yang diselenggarakan dalam rangkaian upacara odalan di Pura Samuan Tiga, Bedulu (Gianyar) itu dilakukan oleh perempuan atau laki-laki yang sudah kaelingan, artinya ditunjuk oleh Ida Batara melalui upacara pawintenan. Para pemain melakukan siat, saling serang dan saling pukul tanpa membedakan lawan dan kawan. Pertunjukan itu diselenggarakan satu kali setiap tahun, tiga hari setelah upacara puncak (sekitar purnama Jiyestha).

Continue reading

Tradisi Ter-teran (Perang Api)

Masyarakat Bali, khususnya di Kabupaten Karangasem banyak memiliki tradisi unik hanya ada di daerah tersebut. Tradisi ini sampai saat ini masih melekat kuat dalam kehidupan masyarakat, seperti Gebug Ende (Perang Rotan) di Desa Seraya , Tradisi Mesabatan Biu (Perang Pisang) di Desa Dauh Tukad Tenganan serta Mekare-kare (Perang Pandan) di Desa Tenganan Pengringsingan.

Selain tradisi tersebut di atas, ada satu lagi tradisi unik di Kabupaten Karangasem, Kabupaten yang terletak paling ujung Pulau Bali ini, tepatnya di Desa Jasri, dirayakan setiap 2 tahun sekali, di tahun ganjil saat Pengrupukan atau Tawur Kesanga, sehari sebelum Nyepi. Tradisi tersebut adalah Perang Api atau disebut juga Terteran (Ter-teran).

Tradisi Ter-teran ini adalah aksi saling serang/lempar-lemparan dengan api. Perang api ini menggunakan obor prakpak/bobok (daun kelapa kering yang diikat menjadi satu), di tengah-tengah daun kelapa diisi dengan tongkat/ kayu kecil, agar jangkauan lemparan bisa lebih jauh dan kuat, kemudian disulut/dinyalakan digunakan dan dilempar saling serang sehingga mengeluarkan bunyi ter-ter, sehingga dinamakan ter-teran.

Continue reading

Purana Pura Guwa Watu Pageh – Terjemahan

Ya Tuhan, semoga hamba tidak mendapat halangan dan semoga berhasil.

Ini perjalanan suci Danghyang Nirartha, di pulau Bali dan Lombok, bersama-sama putra beliau. Setelah masa Dwapara dan berganti dengan masa Kali, adapun Sri Maharaja Bhuminatha, Sri Harsa Wijaya, pindah dari Daha, menuju istana Wilwatikta yang disebut dengan Mawospahit (Majapahit), di sana beliau menjadi raja sebagai penguasa kerajaan, setelah beberapa lama beliau memerintah, amat terkenal kerajaan Majapahit, tersebar di seluruh Nusantara, namun tiada lama, rusaklah kerajaan Majapahit dengan masuknya agama Islam, pada hakekatnya agama itu sama bagaikan purusa dan pradana, yang bertujuan satu, namun yang berbeda adalah prilaku, bahasa, ethika, persembahan upakara, itulah perbedaannya, yang menyebabkan timbulnya kehancuran.

012614_0825_BabadTegehk1.jpg

Hamba menghormat kepada kaki Paduka Pendeta Danghyang Dwijendra (Nirartha), yang dikenal dengan Bhatara Sakti Wawu Rawuh. “Ya Tuhan, maafkan hamba, agar terhindar dari kualat, memuja engkau Danghyang sekarang, yakni Danghyang Dwijendra sembah hamba, yang memberi anugrah ajaran Tattwa, agama Hindu Bali, Weda, Mantra, Tembang dan Kidung, segala prilaku tentang upacara dan Panca Yadnya, seperti Dewa Yadnya, yang menimbulkan kebahagiaan, keselamatan dan ketenangan jiwa hamba, semoga Danghyang sudi mengabulkannya, hamba mengabdi padamu, semoga berhasil segala yang dikerjakan dan negara menjadi aman”.

Continue reading

Purana Pura Guwa Watu Pageh

OM Awighnamastu nama sidham

Iki dharmayatranira Dang Hyang Nirartha, ring Bali Pulina ring bhumi Lombok, katekeng putra potrakanira. Apica. Ri telas pwa sangghyanikang dwapara yuga ri wekasan gumanti kang kali yuga bhumi, kunang Sri Maharaja Bhuminatha, Sri Harsa Wijaya, wiyoga pwa sira saking Daha nagara, angalih kadatwanmaring Wilwatikta, ngaran Mawospahit, ri kana sira Sri Bhuminatha madeg ratu cakra warting rat, pira kunang tadeg mwang lawasnira siniwing ring atita, ya langoning ramya nikang bhumi Wilwatikta, winuwus ring para loka, sapandiri nira Sri Maharaja Bhuminatha, wastu hana pangendanikang sanghara yuganing bhumi, amogha jemur ring Yawa dwipa kapasukan dening agama Islam, kalingannya agama nikang wang ring Yawa dwipa, tan bheda pradhana purusa agamanya, yadyapi buddhi winayanya tunggal juga, kunang bhedaning kramanya, sabda, sasana, kirti widhi widhana, ya tika tan tut kramanya, kang mangde tukar.

Lontar

Pamujaning hulun ri Sang Sinuhun ri jong sira Danghyang Dwijendra, Bhatara Sakti Wawurawuh ngaranira waneh. OM ksantawya ta sang hulun tan kawratang sapa tulah, mangastawa Danghyang mangke, Danghyang Dwijendra sinuhun, nugraha tattwa kawruh, tattwagama Hindu Bali, weda mantra tembang kidung, solah bhawa tatacara, lawan panca yajna kabeh, dewa yajneka makadi, gumawe treptining kahyun, raharja jiwatman ingong, mogha Danghyang tulus asung, mangasraya ri sang hulun, siddhekang don, swanagara trepti winong.

Continue reading

Ritual Ngaben

Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu Bali. Sebagaimana penganut Hindu di India, mereka akan menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.

ngaben

 

Dalam kepercayaan Hindu, jasad manusia terdiri dari badan kasar (fisik) dan badan alus (roh atau atma). Badan kasar tersebut dibentuk oleh 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta, yang terdiri dari Pertiwi (tanah), Apah (air), Teja (api), Bayu (angin), serta Akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia yang kemudian digerakkan oleh roh. Ketika seseorang meninggal, yang mati sebetulnya hanyalah jasad kasarnya saja, sementara rohnya tidak. Oleh sebab itu, untuk menyucikan roh tersebut diperlukan Upacara Ngaben untuk memisahkan antara jasad kasar dan roh tersebut.

Continue reading