Pura Pucak Mangu

Pendahuluan

Sampai sekarang banyak yang tidak mengetahui yang mana sebenarnya yang bernama Gunung Mangu. Dari deretan gunung-gunung yang menunjang di tengah-tengah Pulau Bali banyaklah terdapat gunung-gunung yang tinggi-tinggi yang merupakan puncak-puncak dari pegunungan yang tingginya melebihi dari 2.000 meter.

Tetapi kalau kita melihat di Peta Pulau Bali, nama Gunung Mangu ini tidak tercantum, sehingga hal inilah yang menyebabkan mengapa Gunung Mangu tidak banyak dikenal orang. Berlainan dengan babad-babad ataupun purana-purana, kalau menyebutkan nama gunung maka Gunung Mangu hampir tidak pernah ketinggalan sebagai salah satu yang penting artinya sebagai linggih Dewa-Dewa Astalokaphala, seperti halnya Gunung Lempuyang, Gunung Agung, Gunung Andakasa, Gunung Batur, Gunung Mangu dan Gunung Watukaru.

Gunung Andakasa dan Gunung Mangu mungkin karena tidak tercantum namanya di Peta Pulau Bali, sehingga jarang orang mengetahuinya. Mengapa di dalam peta tidak tercantum namanya ? Hal ini mungkin disebabkan karena gunung itu tidak begitu besar/tinggi atau mungkin karena tidak ada keistimewaannya dari segi lahiriah, lain halnya dengan Gunung Batur walaupun gunung ini juga tidak begitu tinggi, tetapi karena sering meletus sehingga jadi terkenal. Demikian juga halnya di dalam babad ataupun usana, nama penyebutan gunung-gunung seperti Gunung Beratan, Gunung Pengelengan dan Gunung Mangu sering berbeda terutama mengenai nama Ida Bhatara yang melinggih di gunung tersebut. Di bawah ini kami cantumkan petikan Babad Mengwi yang menyebutkan tentang nama Gunung Mangu, dimana Parahyangan di puncak gunung tersebut sampai sekarang masih menjadi tempat pemujaan turunan Raja Mengwi, sebagaimana berikut :

Kunang pwa I Gusti Agung Putu tan lad sira ammangunangen ring cita didine sira amalesa wirang, ring I Gusti Ngurah Watutumpeng. Ika ta anangenangenira sari-sari dadi wetu cita nira, kaya tinuduh dening Hyang, harep humintara sah saking wratmara desa, kalaning we rahayu sumusup ring seket nikang, humungsir yagraning parwata Mangu, tan warnanen lampah nirena awan, mangke dateng ring pucaking Gunung, laju ta sira asila, mangarcana ri hyanghyanging parwata.

Terjemahan bebasnya :

Adapun I Gusti Agung Putu tak habis-habisnya berpikir di dalam hati, agar bisa membalas dendam “wirang” terhadap I Gusti Ngurah Watutumpeng. Itulah yang dipikirkan beliau sehari-hari, sehingga muncul maksud beliau, seperti diperintahkan oleh Hyang berkeinginan untuk pergi dari Desa Marga pada waktu hari yang baik masuk ke dalam semak-semak dari hutan menuju ke Puncak Gunung Mangu, tidak diceritakan di perjalanan sekarang datanglah di puncak gunung, segeralah beliau bersila memuja kepada Hyangning Parwata.

Kalau demikian, di gunung di mana I Gusti Agung Putu itu Ndewasraya ? Gunung yang dimaksud adalah gunung yang berada di sebelah Timur Laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Mangu, Pucak Beratan, Pucak Pangelengan dan Pucak Tinggan. Menurut cerita-cerita turunan Pande Beratan (dalam hal ini Mangku Pande) yang bernama Made Berata, pada jaman dahulu daerah sekitar Danau Beratan itu dihuni oleh kelompok warga Pande dan menyebut dirinya Pande Beratan sebab yang ada di tepi danau ini bernama Desa Beratan, sehingga danaunya lebih dikenal dengan nama Danau Beratan dan gunung di atas danau itu bernama Gunung Beratan., sesuai dengan nama desa di bawahnya. Adapun gunung yang disebut Gunung Beratan itu adalah gunung yang sama yaitu Gunung Mangu yang disebut dalam Babad Mengwi.

Uniknya orang di Desa Tinggan menyebut gunung yang sama itu dengan nama Pucak Tinggan, mungkin karena Desa Tinggan dan sekitarnyalah yang ngempon pengaci di Pucak Mangu.

Nama gunung yang sama dan mungkin ada hubungannya dengan desa pengemponnya kita jumpai pula contoh-contoh seperti Pucak (Gunung) Bon diempon oleh Desa Bon dan sekitarnya. Gunung Batur dan Danau Batur ada hubungannya dengan Desa Batur pada waktu masih di bawah. Jadi Gunung Mangu, dan Gunung Beratan adalah nama dari satu gunung. Bagaimana dengan nama Gunung Pangelengan ? Menurut cerita dari mulut ke mulut di lingkungan keluarga Puri Mengwi, Gunung Pangelengan itu adalah sama dengan Gunung Mangu. Konon katanya pada waktu I Gusti Agung Putu setelah ditulis (rajah) lidahnya oleh Bhatara Pucak Mangu lalu disuruh melihat ke empat penjuru mata angin dan daerah-daerah yang dilihat dengan terang itulah akan menjadi daerah kerajaannya. Sejak itu gunung dimana I Gusti Agung Putu neglengang (melihat) itu lalu disebut Gunung Pangelengan. Demikianlah apa yang kami dapat kumpulkan mengenai nama Gunung Mangu, Beratan dan Pangelengan.


Sejarah Gunung Mangu

Secara fisik Gunung Mangu itu adalah merupakan puncak dari satu deretan pengunungan yang terletak di utara Danau Beratan dan pada jaman dahulu mungkin merupakan puncak gunung merapi yang sekarang sudah tidak aktif lagi. Di puncak gunung ini kita dapat menjumpai bangunan pura yang cukup besar dengan ukuran 14 x 24 meter terdiri dari :

  • Sebuah Meru Tumpang 5
  • Sebuah Meru Tumpang 3
  • Sebuah Lingga di atas Tpasana
  • Sebuah Bangunan Pancaresi
  • Sebuah Bangunan Pepelik
  • Sebuah Bangunan Penggungan
  • Sebuah Padmacapah
  • Dan sebuah bangsal untuk orang yang akan mekemit (menginap) atau berteduh di waktu hujan.

Dari jenis-jenis bangunan ini, bangunan tertua dan paling menarik karena kepurbakalaannya yang kita pakai sebagai bahan menggali sejarah Pura Pucak Mangu ini adalah sebuah lingga batu (lingga pala) yang berukuran tinggi 60 cm dan garis tengah pasar 30 cm. Bahannya dari batu alam dan lengkap dengan segi empat (Brahmabaga), segi delapan (Wisnubhaga) dan bentuk bulat (Çiwabhaga). Rupa lingga ini menyerupai lingga yang kita jumpai di Pura Candi Kuning sehingga dengan demikian dapat diperkirakan bahwa umurnya mungkin sama dengan umur Pura Candi Kuning (yaitu bangunan candi sekarang dalam keadaan rusak dan dililit oleh akar-akar pohon beringin). Rupa-rupanya pada sekitar abad X – XIV di Pulau Bali masih memakai lingga sebagai objek pemujaan, sedang sesudah abad ini rupanya bentuk meru dan gedong sudah menggantikan bentuk-bentuk candi dan lingga. Pada sekitar abad-abad ini daerah sekitar Danau Beratan rupanya sudah berkembang Agama Çiwa dengan lingga sebagai objek pemujaan, seperti Beratan (100 m di sebelah barat Pura Ulun Danau Beratan), sehingga tidak asinglah bagi kita kalau di Puncak Gunung Mangu kita jumpai juga sebuah lingga. Raja siapa yang memerintahkan membuat lingga di puncak gunung ini ? Belum satu prasastipun yang ada menyebutkan sehingga sejak kapan Gunung Mangu ini dikunjungi sebagai tempat beribadah belum dapat diketahui.

Menurut cerita dari mulut ke mulut di lingkungan keluarga Puri Mengwi ada disebutkan bahwa pada waktu I Gusti Agung Putu pergi dari Marga menuju Puncak Gunung Mangu untuk “Ndewasraya” (bersemedi) setelah sampai di puncak, menjumpai hutan belukar yang begitu lebat sehingga sukar memilih tempat dimana memulai bersemedi. Akhirnya beliau mendengar suara tawon (ngababin) dan tertariklah hati beliau untuk pergi ke tempat suara itu, serta setelah sampai di sana beliau melihat bekas reruntuhan bangunan dan disanalah beliau lalu bersemedi.

Kalau kita percaya kepada cerita ini maka rupa-rupanya sudah sejak lama bangunan lingga ini tidak diperhatikan sehingga pada permulaan abad ke-17 pada waktu I Gusti Agung Putu bersemedi bangunan ini sudah runtuh. Selanjutnya di dalam Babad Mengwi juga tidak disebutkan apakah sesudah I Gusti Agung Putu berhasil menjadi Raja Mengwi bangunan yang di puncak ini (termasuk lingganya) direstorasi atau tidak, di dalam babad ini tidak disebutkan. Hanya pembangunan di tepi Danau Beratan yang berupa Penataran Agung atau pesimpangan Ida Bhatara di Pucak Mangu itu sajalah disebut dibangun lengkap dengan Upakara Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya. Sesuai dengan isi petikan babad yang telah kami tuliskan di muka dan dibangun 1555 Çaka atau 1633 Masehi. Masih dalam kaitan pembicaraan mengenai lingga ini perlu diketahui bahwa pada tahun 1972 sebenarnya lingga ini baru diketahui lagi dan dijumpai oleh I Gusti Agung Gde Putra terletak di dalam timbunan batu-batuan bekas bangunan yang tidak dipergunakan lagi dan tersisih di sebelah timur laut halaman Pura. Setelah dibongkar-bongkar maka hanya lingganya sajalah yang masih sedang yoninya tidak ada lagi.

Rupa-rupanya masyarakat pengemong tidak mengetahui dan mengerti fungsinya sehingga reruntuhan bangunan lingga ini pada waktu pembuatan Meru dan bangunan-bangunan lainnya, batu-batuan ini banyak dipakai sebagai dasar bangunan yang dibuat baru, dan lingga ini karena bentuknya yang sedemikian rupa sehingga tidak ada fungsinya. Setelah lingga ini diketahui oleh I Gusti Agung Putra, maka diberitahukanlah masyarakat pengemong apa fungsi lingga ini pada jaman dahulu. Sehingga dengan demikian, masyarakat membangun pula Yoninya dari batu alam, sumbangan dari dokter I Gusti Agung Gde Oka, dan berdirilah bangunan lingga dan yoninya di atas pepasangan seperti yang kita jumpai sekarang dan restorasi ini dilaksanakan pada tahun 1972. Yang dapat kita tarik kesimpulan dari keadaan ini adalah bahwa rupanya sejak lingga itu didirikan sekitar abad ke-14, Gunung Mangu telah menjadi objek pemujaan. Pada permulaan abad ke-17 pada waktu jamannya I Gusti Agung Putu, lingga ini telah runtuh tetapi tidak diketahui dengan jelas, apakah lingga ini difungsikan lagi atau tidak. Masalah sekarang adalah mulai kapan fungsi lingga ini digantikan dengan meru ? Dimuka telah dikatakan bahwa I Gusti Agung Putu telah berhasil menjadi Raja Mengwi tentu telah memperbaiki bangunan reruntuhan di tempat beliau bersemedi itu walaupun di dalam babad tidak disebutkan.

Kami mengira bangunan yang runtuh tersebut tentu bangunan lingga ini dan oleh karenanya sederhananya bangunan ini tidak tercantum di dalam babad. Bangunan-bangunan lain rupanya pada waktu itu tidak ada. Baru pada abad ke-18 kira-kira bentuk bangunan meru dibuat, adapun sumber yang kami pergunakan adalah adanya bentuk cerita yang disampaikan oleh penyarikan pura Penataran Agung Tinggan bernama Pan Surem. Menurut ceritanya orang yang bernama Kaki Gemuh yang tidak lain adalah kakeknya sendiri pernah menceritakan kepadanya bahwa pada waktu Kaki Gemuh masih muda (teruna cenik) ada katanya seorang pangeran dari Puri Mengwi tiba-tiba datang dari Puncak Gunung Mangu, baru habis Ndewasraya dan menyuruh Kaki Gemuh dan Kaki Lancar untuk pergi ke Puncak Mangu, untuk mengambil “keben” yang masih tertinggal di sana.

Pura Pucak Mangu

Dengan rasa takut Kaki Gemuh dan Kaki Lancar melaksanakan perintah itu karena pada waktu itu jalan ke puncak sangat sulit dan ada binatang buas (macan). Setelah sampai di atas, barang yang disuruh diambil itupun dijumpai dan dibawa pulang. Pada waktu itu bangunan yang ada adalah sebuah arca. Juga disebutkan setelah Pangeran ini mendapat kembali keben yang tertinggal di Puncak Mangu, ternyata isinya adalah semacam selimpet poleng dan setelah selimpet poleng itu diupacarai lalu ditelan, sejak itu pula Pangeran ini memerintahkan desa di pangkal gunung di sebelah timur ini membangun Meru di atas (di puncak) dan membuat Pura Penataran di Desa Tinggan. Kaki Gemuh juga menceritakan bahwa Pangeran ini pergi Ndewasraya ke Puncak Mangu karena ingin memohon agar kekuasaan Kerajaan Mengwi bisa didapat kembali. Berdasarkan cerita ini, maka dapat disimpulkan bahwa sebelum abad ke-18 bangunan di atas hanyalah sebuah lingga saja yang oleh Kaki Gemuh disebut arca, dan setelah Pangeran ini mendapat anugrah, maka barulah membuat bangunan Meru. Dan rupanya bangunan lingga ini tidak dipergunakan lagi sejak itu. Siapakah Pangeran yang disebut oleh Kaki Gemuh ini dan kapan terjadinya ini ?

Kalau kita menemui Babad Raja-Raja Mengwi maka pada abad ke-18 ada seorang Pangeran yang berpangkat Raja Muda bernama I Gusti Agung Nyoman Munggu, dan nama abisekanya “Cokorda Nyoman Mayun“. Beliau ini disebutkan rajin sekali memperbaiki pura-pura. Cokorda Nyoman Mayun ini pula yang mendirikan Penataran Agung di Desa Tinggan sebagai Penataran Agung Pucak Mangu, pada tahun çaka 1752 atau 1839 masehi (menurut Babad Mengwi). Kalau cerita ini dihubungkan dengan ceritanya Kaki Gemuh maka Pangeran yang dimaksud tidak lain adalah Cokorda Nyoman Mayun. Jadi meru dan bangunan-bangunan lainnya di Pucak Mangu itu kira-kira dibuat bersamaan atau pada tahun yang sama dengan Penataran Agung Tinggan yaitu tahun 1830 masehi. Setelah tahun 1830 sampai jatuhnya Kerajaan Mengwi tahun 1896 tidak ada dicantumkan dalam babad tentang adanya restorasi. Baru sesudah gempa (gejer) tahun 1947 disebutkan bahwa cucu dari Cokorda Nyoman Mayun yang bernama I Gusti Agung Biyang Ratu yaitu ibu dari I Gusti Agung Putu Mayun, Punggawa Abiansemal, disebutkan mengadakan perbaikan-perbaikan di Pucak Mangu dimana disebutkan Pucak Mangu tumpang lima, patah dan runtuh, sehingga lalu diadakan restorasi. Demikian pula di Penataran Agung Tinggan, restorasi secara besar-besaran karena hampir semua bangunan runtuh. Selanjutnya akibat gempa tahun 1927 meru tumpang lima Pucak Mangu patah pula 3 tumpang, dan baru bisa direstorasi sekitar tahun 1934-1935 oleh I Gusti Agung Made Rai dan I Gusti Agung Nyoman Rai beserta pemaksan-pemaksan pengemong, tetapi restorasi tidak bersifat penggantian seluruhnya hanya tiga tumpang yang rusak itu saja diperbaiki. Pada tahun 1978 sesudah Panca Wali Krama di Besakih terjadi angin kencang yang melanda meru tumpang lima, sehingga tiga tumpang yang di atas ini runtuh lagi. Maka atas prakarsa sentana Puri Mengwi, bersama-sama dengan pemaksan pengemong diadakan perbaikan total, hampir semua bangunan di Pucak Mangu kecuali Tepasana dan selesai.

Perlu ditambahkan dalam rangkaian penyucian palinggih di Pucak Mangu ini, dipergunakan pula banten-banten khusus yaitu : Upacara Pangruwak memakai guling babi, selain untuk mengruwak, sama sekali tidak boleh memakai babi. Pada waktu upacara pamlaspas, memakai plupuan kidang. Penggunaan kidang ini merupakan kekhususan untuk upacara pamlaspas ini. Demikianlah sedikit sejarah mengenai bangunan-bangunan dan upacara di Pucak Gunung Mangu.


Penataran Agung Pucak Mangu

Sebagaimana umumnya pura-pura/parahyangan-parahyangan di pucak gunung, biasanya mempunyai penataran agung terletak di pangkal gunung bersangkutan seperti misalnya Gunung Agung dengan Pura Penataran Agung Besakih, Gunung Batur dengan Penataran Agung Batur, Gunung Watukaru dengan Penataran Agung Watukaru. Khusus mengenai Gunung Mangu, disamping di puncaknya sendiri berdiri bangunan-bangunan yang cukup besar, bahkan bangunan yang paling besar dari bangunan-bangunan yang ada di puncak gunung karena bangunan di Puncak Gunung Lempuyang pun lebih kecil, juga Gunung Mangu mempunyai keistimewaan yaitu mempunyai dua buah Penataran Agung.

Pura Penataran Pucak Mangu

Penataran Agung yang pertama, didirikan oleh I Gusti Agung Putu, alias Cokorda Sakti Blambangan, pada tahun 1555 çaka atau 1633 masehi yang terdiri atas :

  1. Satu komplek palinggih Dalem Purwa
  2. Satu komplek Penataran terdiri dari :
  • Meru tumpang 7, Pasimpangan Bhatara di Tratai Bang
  • Meru tumpang 11, Palinggih Bhatara di Tengahing Segara (Ulun Danu)
  • Meru tumpang 3, Palinggih Bhatara di Pucak Mangu, juga disebut Palinggih Lingga Petak, karena di bawah meru itu dijumpai batu putih besar sebesar manusia, diapit oleh batu merah dan batu hitam.

Lokasinya adalah di tepi barat Danau Beratan. Pengemong dari Penataran Agung ini adalah empat satakan, yaitu : Banyan, Antapan, Baturiti dan Candi Kuning. Kalau ada kegiatan pembangunan atau upacara maka Puri-Puri Marga, Belayu, Pererenan dan Mengwi, selalu diminta sebagai manggala. Upacara piodalannya diatur pada Anggara Kasih Medangsia.

Penataran Agung yang kedua, adalah Penataran Agung yang terletak di Desa Tinggan. Penataran Agung ini didirikan pada tahun 1752 çaka atau 1830 masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun, yang terdiri dari beberapa palinggih pokok, yaitu :

  1. Meru tumpang 11, Palinggih Bhatara di Pucak Mangu
  2. Meru tumpang 9, Palinggih Bhatara Teratai Bang
  3. Meru tumpang 3, Palinggih Bhatara di Pucak Bon
  4. Gedong dengan lima ruang (semacam plangkiran) adalah palinggih Bhatara Pucak Sangkur, selaku Bhagawanta Bhatara di Pucak Mangu. Kedudukan Bhatara di Pucak Sangkur, sama seperti Bhatara di Pura Jati untuk Pura Batur.
  5. Padmasana (Surya)
  6. Padma rong tiga untuk pangubengan
  7. Dan palinggih-palinggih kecil lainnya.

Adapun sebabnya Pura Pucak Mangu mempunyai 2 Penataran Agung adalah karena sekitar permulaan abad ke-19 Kerajaan Mengwi mengalami kemunduran dimana Puri Marga Perean yang menguasai daerah sampai di sekitar Danau Beratan berbalik dan tidak lagi tunduk pada Kerajaan Mengwi oleh karena itu maka Raja-Raja Mengwi yang ingin sembahyang ke Pura Penataran ke Beratan tidak berani ke sana. Itulah sebabnya Raja Mengwi mencari daerah yang masih dikuasai dan terletak di kaki Gunung Mangu. Daerah itu adalah daerah di sebelah timur Gunung Mangu yaitu Desa Tinggan. Demikianlah sedikit tambahan penjelasan mengenai Penataran Agung Pucak Mangu.


Upacara dan Upakara

Upacara di Pucak Mangu dilaksanakan dua kali dalam satu tahun tetapi kedua upacara ini adalah upacara yang berbeda, yaitu : pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara Piodalan dan pada waktu Sasih Kapitu (Purnama) dilakukan upacara Ngebekin. Kedua upacara ini mengambil tempat di Pucak Gunung Mangu dan di Penataran Agung Pucak Mangu yang terletak di Desa Tinggan.

Upacara Piodalan

Dua hari sebelum Purnamaning Kapat (Trayodasi) dilaksanakanlah upacara melasti ke “Pesiraman Pekebutan” yang terletak di Desa Bukian di sebelah timur Desa Plaga. Jarak dari Pura Penataran Agung ke Pekebutan ini kira-kira 4 km. Jenis banten yang dipergunakan pada waktu melasti sama seperti di pura-pura lainnya demikian pula banten pemedeknya. Sejak upacara pelelastian ini lalu Ida Bhatara katuran ngadeg di Pesamuan. Besok harinya menjelang Purnamaning Kapat dilaksanakan Upacara Mepepada kalau kebetulan yang dilaksanakan upacara kecil hanya di Sima Gunung saja maka pepadan tidak ada tetapi dimohonkan tirtha binatang yang akan dipakai upacara itu lebih dahulu sebelum disembelih. Upacara piodalan dilaksanakan di dua tempat yaitu di Pucak Gunung Mangu dan di Penataran Agung Tinggan.

Pagi-pagi sekali pada Hari Purnamaning Kapat salah satu dari 8 pemaksan (Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman) ditunjuk untuk mendak Ida Bhatara ke Pucak Gunung Mangu lengkap dengan banten piodalan, pemendak dan disertai gong dipimpin oleh Pemangku Gede dari Tinggan. Kalau Pemangku Gede berhalangan maka salah satu Pemangku dari pemaksan tersebut di atas boleh juga dilaksanakan. Perlu kami tambahkan sedikit bahwa di dalam penunjukkan pemaksan yang akan dilaksanakan pengaci ke Pucak Gunung Mangu itu didasarkan pada bahwa yang ditunjuk adalah desa yang “galang” dalam arti tidak “kesebelan“. Sebagaimana diketahui umumnya di desa-desa pegunungan termasuk 8 pemaksan di atas ini mempunyai adat mengambil sebel berdasarkan bulan yaitu : jika ada kematian di desanya maka warga desa akan mengambil sebel sampai lewat purnama atau tilem misalnya kalau sekarang ada kematian dan besok hari purnama maka sebel diambil cukup 2 hari karena sehabis purnama sebel itu sudah hilang. Begitu pula kalau bertemu dengan tilem. Tetapi kalau kebetulan kematian itu sehari sesudah bulan purnama atau tilem maka harus mengambil sebel sampai 15 hari, baru boleh masuk Pura Penataran Agung. Tetapi untuk diperbolehkan naik ke Pucak Gunung Mangu berlaku ketentuan yang lain lagi yaitu sesudah satu bulan tujuh hari (42 hari) baru diperkenankan naik. Oleh sebab itulah maka tiap piodalan ditanyakan dulu desa yang mana dari delapan desa yang tidak ada halangan dalam arti “kecuntakaan” seperti di atas.

Perjalanan dari Penataran Agung Tinggan ke Puncak Gunung ini memakan waktu kurang lebih 3 jam bagi orang yang mempunyai kemampuan normal sedangkan waktu kembalinya bisa ditempuh sekitar 2 jam karena jalan menurun. Upacara-upacara yang dilaksanakan di dalam perjalanan adalah sebagai berikut : Kira-kira setelah perjalanan satu jam dari Desa Tinggan sampailah pada suatu tempat yang agak datar dan oleh penduduk tempat itu dinamai Penggak. Di sana pemangku ngaturang canang sekedarnya sebagai oleh-oleh kepada penjaga hutan. Tempat ini bernama penggak, mungkin sekali pada jaman dahulu memang ada orang berjualan di sana. Hal ini diceritakan oleh orang tua-tua di Tinggan, pada jaman dahulu katanya perjalanan ke Singaraja menempuh jalan gunung ini dan tembus di Merta Ketipat di atas Pancasari (Buleleng). Di tempat inilah katanya “pura pangulu” pedagang yang membawa dagangannya dengan kuda beristirahat sebentar melepaskan lelah serta makan minum.

Selanjutnya setelah kurang lebih berjalan satu tiga perempat jam maka sampaikan ke tempat yang bernama “Pesiraman“. Tempat ini merupakan akhir atau ujung dari punggung (juringan) gunung dan di sini terdapat dua buah bangunan pelinggih yaitu sebuah gedong kecil dan sebuah paruman. Bangunan ini direstorasi terakhir tahun 1972 oleh Keluarga Puri Mengwi, Carangsari dan Pemaksan. Upacara yang dilaksanakan di sini adalah upacara mohon tirtha kehadapan Ida Bhatara Wisnu karena tempat inilah merupakan hulu dari mata air yang selanjutnya akan menjadi salah satu cabang hulu dari Sungai Ayung. Di samping mata air, di sebelahnya juga ada batu besar yang tertanam dan permukaan batu yang kelihatan berukuran lebih kurang 2 x 1,5 meter. Banten yang dipersembahkan di sana adalah peras, ajuman, daksina, suci dan sorohan pelupuhan itik. Tirtha yang dimohon di tempat ini kemudian diletakkan di dalam “sujang” bambu yang dibungkus kain dan diikat dengan benang, dan digantungi uang bolong, dan ditutup dengan plawa atau paku. Sujang berisi tirtha ini kemudian dibawa ke atas yaitu ke Puncak Gunung Mangu. Perjalanan dari pesiraman ini, memakan waktu kurang lebih ¾ jam. Keadaan jalannya sangat curam, untung oleh karena teduh oleh rindangnya pohon-pohonan dan banyaknya akar-akaran, sehingga mudah untuk berpijak dan berpegangan sehingga jalan yang curam inipun bisa ditempuh dengan membawa sajen dan gong.

Di puncak kita akan menjumpai dataran yang memanjang lebih kurang 60 x 16 meter dilindungi oleh hutan pohon cemara dan sebagian dari pada dataran ini masih tetap berbentuk hutan dan sebagian lagi merupakan parahyangan Ida Bhatara di Pucak Mangu, terdiri dari Meru Tumpang Lima, parahyangan Ida Bhatara Teratai Bang, merupakan Meru Tumpang Tiga, sebuah Tepasana, tempat Lingga, sebuah Pepelik, sebuah Padma Capah, sebuah Palinggih Panca Resi (yaitu bangunan yang mempunyai lima ruangan, masing-masing menghadap ke barat, ke utara, ke timur, ke selatan dan sebuah ada di tengah-tengah). Banten yang dipersembahkan di sini sesuai dengan tingkatan karya, kalau besar dipersembahkan peras, ajuman, daksina suci, segehan agung dan segehan pelupuhan bebek, dan pula gembal serta bebangkit. Sebagaimana dimaklumi, hampir semua pura-pura di pucak gunung, sajennya tidak boleh menggunakan babi sebab itu banten serta haturan-haturan lainnya tidak boleh berisi daging babi.

Khusus untuk pemlaspas, ada perkecualian, dimana ada upacara pangruwak terhadap bangunan yang diperbaiki justru menggunakan guling babi. Setelah upacara di Pucak Mangu selesai, maka Ida Bhatara yang disthanakan (meraga toya) di dalam sujang, terus diiring turun ke Penataran Agung di Desa Tinggan. Upacara di Penataran Agung jauh lebih besar dari upacara di Pucak. Sebelum Ida Bhatara sampai di Desa Tinggan, biasanya sampai di atas hutan dipendaklah Beliau dengan gong oleh pemaksan. Setelah sampai di Jaba Pura Penataran Agung, maka disambutlah Beliau dengan penyambleh dan segehan agung, sebagai pemendak dan sesudah itu lalu dilinggihang di Padma Rong Tiga. Sebagai diketahui, Ida Bhatara yang meraga tirtha, tidak boleh melinggih di Meru atau Gedong. Adapun upacara di Penataran Agung, dapat dibagi atas dua jenis, yaitu :

  1. Upacara yang lebih dahulu dilaksanakan adalah upacara menurut Indik (sesuai dengan lontar piodalan biasa). Upacara ini kalau besar, memakai Pedanda yang muput, kalau kecil cukup dengan Pemangku saja. Tiga tahun sekali kalau keadaan memungkinkan dilaksanakan upacara sampai tingkat mapeselang, dengan memakai kerbau.
  2. Upacara selanjutnya adalah upacara Piodalan menurut sima gunung, memakai juga bebangkit dan pula gembal tetapi yang merupakan kekhususan adalah upacara ini tidak dipimpin oleh Ida Pedanda, tetapi dipimpin oleh Pemangku Gede, dengan semua pemangku dari masing-masing pemaksan (8 pemaksan). Sebagai pemuput karya dimohonkan tirtha dari sulinggih, Ida Bhatara di Pucak Sangkur yang ada juga di Penataran Agung. Ida Bhatara di Pucak Sangkur adalah seumpama Bhagawanta atau Pedanda khusus dari Ida Bhatara, sebab itu tirtha dari pelinggih inilah dianggap sebagai tirtha pamuput. Pada jaman dahulu, konon tidak ada Pedanda yang berani memuja, tetapi saat ini khusus untuk di Penataran Agung, Ida Pedanda diperkenankan memuja tetapi memutus karya, tetap memohon kepada Ida Bhatara di Pucak Sangkur. Untuk di Pucak Gunung Mangu sampai sekarangpun tidak diperkenankan Pedanda yang memuja. Banten khusus yang dipergunakan di sini adalah sorohan, pelupuhan babi, terdiri dari nasi sasahan, di atas daun telujungan. Dan di atas nasi itu, diletakkan babi yang telah disembelih. Sorohan pelupuhan ini adalah bentuk banten kuno yang dipersembahkan pada wujud Ida Bhatara dalam manifestasi beliau sebagai Wisnu yang memberikan anugerah kemakmuran kepada manusia. Sorohan pelupuhan mengambil simbul pertemuan Ida Bhatara Wisnu yang berbentuk babi, pada waktu mencari pangkalnya lingga dan bertemu dengan Bhatari Wasundari atau Pertiwi, yang digambarkan dengan nasi palupuhan. Pertemuan Wisnu dengan Pertiwi yaitu pertemuan air dan tanah adalah merupakan simbul kemakmuran.


Upacara Ngebekin

Upacara Ngebekin ini bukanlah merupakan upacara piodalan tetapi merupakan upacara permohonan kepada Ida Bhatara agar hasil panen padi bisa berhasil dengan baik. Ida Bhatara di Pucak Mangu dianggap sebagai sumbernya kehidupan tumbuh-tumbuhan, sebab itulah sorohan pelupuhan merupakan banten yang khas dipergunakan dan dipersebahkan pada waktu upacara ngebekin. Jenis bantennya jauh lebih sederhana dari pada banten piodalan, tetapi sorohan pelupuhan inilah yang terpokok. Pelaksanaannya hampir sama dengan waktu upacara piodalan dimana dilaksanakan upacara mendak tirtha ke pesiraman kemudian Ida Bhatara Tirtha diadegang (disthanakan) dengan sujang.

Di Puncak Gunung Mangu, dimana umat yang memohon tirta ini yaitu umumnya rakyat di 8 desa tersebut di atas terutama yang mempunyai tegalan atau sawah masing-masing membawa tegteg atau sujang sebagai dasar permohonan tirtha ngebekin. Kalau pada waktu piodalan tirtha yang dimohon adalah tirtha kakuluh dan tirtha perwujudan Ida Bhatara di mana tirtha ini dimohon oleh umatnya (dipakai, diminum dan disiratkan kepada manusia). Tetapi tirtha ngebekin tidak boleh diminum atau dicipratkan kepada manusia, melainkan penggunaannya dicipratkan ke sawah atau tegalan. Waktu memendak tirtha ke puncak inipun juga menggunakan gong. Fungsi tirtha ngebekin ini adalah agar padi yang sudah mulai bunting, agar menjadi dalam arti tidak diganggu oleh tikus atau balang sangit dan tidak kosong. Demikianlah jenis upacara dan upakara yang dilaksanakan di Puncak Gunung Mangu dan di Penataran Agung di Desa Tinggan.

Untuk lebih jelasnya upacara Ngebekin ini dapat dilihat pada tayangan berikut :


Pantangan dan Unen

Bagi mereka yang akan pergi ke Pucak Mangu, tidak diperkenankan berkata-kata yang kotor, ataupun sesumbar ataupun takabur, karena biasa mengakibatkan dapat bencana tersesat di jalan atau terjatuh di jalan. Sebagaimana diketahui meskipun jalan ke Pucak Mangu cukup jelas, tetapi banyak juga orang yang sering tersesat. Bagi mereka yang membawa aturan-aturan, tidak diperkenankan membawa daging babi ke Puncak. Bagi mereka yang nunas pawintenan, tidak boleh makan daging sedikitnya 3 hari setelah nunas tirtha pawintenan. Unen, dalam arti binatang-binatang (duwe) Ida Bhatara adalah Harimau. Harimau ini sering kelihatan pada hari-hari tertentu, kalau banten (labaan) kurang. Demikian pula “harimau duwe” ini sering kelihatan seperti kucing.


Kesimpulan

Kesimpulan dari tulisan ini adalah sebagai berikut :

  1. Pura Pucak Mangu telah ada dan dipakai sebagai tempat pemujaan mungkin antara abad X – XIV terbukti diketemukannya sebuah linggaphala.
  2. Sejarah Pura Pucak Mangu erat kaitannya dengan Kerajaan Mengwi
  3. Pura Pucak Mangu merupakan salah satu dari Sad Kahyangan menurut Babad Pasek, Babad Pasek Kayu Slem, Usana Bali dan Upadesa.
  4. Pura Pucak Mangu sampai saat ini diempon oleh 8 pemaksan, yaitu Tinggan, Plaga, Kiadan, Bukian, Nungnung, Tiyingan, Semanik dan Auman.
  5. Pura Pucak Mangu mempunyai 2 Penataran Agung, yaitu sebuah di tepi Danau Beratan dan sebuah lagi di Desa Tinggan.
  6. Upacara/upakara khusus di Pura Pucak Mangu ialah jenis banten plupuhan bebek dan khusus untuk pemlaspas memakai plupuhan kidang.

3 thoughts on “Pura Pucak Mangu

  1. Pingback: Padma Mandala, Sad Kahyangan dan Dang Kahyangan | ...blog nak belog...

  2. Pingback: Pura Kahyangan Jagat | ...blog nak belog...

Leave a comment