Pura Giri Kusuma

Berdasarkan petunjuk Lontar Purana Wana Sari, koleksi Bapak Ketut Sudarsana, yang terdiri dari 9 lembar, yang berbahasa Bali Kawi, ada disebutkan tentang pendirian Pura Giri Kusuma.

Lontar

Diceritrakan ada orang  atau kelompok orang yang tinggal di sebelah selatan Alas Sari yang merupakan keturunan dari Mpu Gnijaya, wilayah tempat tinggalnya belum mempunyai nama. Pada suatu ketika mereka datang ke Alas Sari dengan tujuan untuk berburu, tiba-tiba hujan lebat dan terjadi gempa yang dasyat, hampir-hampir menemui ajalnya. Setelah itu ada sabda dari langit, agar mereka mendirikan palinggih Hyang Lingga Bhuwana pada tempat tinggalnya, beliau juga bergelar Hyang Siwa Natha.

Setelah berselang lama lalu mendirikan parhyangan yang diberi nama Pura Giri Kusuma, stana Bhatara Hyang Tohlangkir. Bangunannya berbentuk Candi, stana Hyang Siwa dan wilayah tempat tinggal itu disebut Singhasari. Setelah bangunan itu selesai lalu dibuatkan upacara Bhuta Yadnya dan Dewa Yadnya, pada hari Purnama, sasih Kapat, tahun Saka 1283 ( agni = 3; asta = 8; srenggi = 2; bhumi = 1).

Setelah berselang lama, Pura ini tak terurus, sehingga menimbulkan berbagai macam bahaya, tetapi akhirnya atas kesadaran masyarakat lalu diperbaiki dan diupacarai pada tahun Saka 1556 (sad= 6; pandhawa = 5; bhuta = 5; ratu = 1). Ketika itu kerajaan Mengwi sedang jayanya, lalu menempatkan patihnya di Singhasari yang bernama Ki Gusti Putu Pacung.

I Gusti Putu Pacung yang berkuasa di Singhasari, memelihara Pura Giri Kusuma dan melakukan upacara pada tahun Saka 1560 (sunya= 0; sad = 6; panca = 5; widhi = 1). Pura ini adalah merupakan sungsungan dari Desa Singhasari dan Subak yang ada di sekitarnya.

Dari uraian yang disebutkan dalam Purana Wana Sari, dapat diambil beberapa pokok pikiran, yaitu :

  • Pura Giri Kusuma adalah merupakan sthana Hyang Lingga Bhuwana/Bhatara Sanghyang Tohlangkir/Sanghyang Siwa Natha.
  • Pura Giri Kusuma, setelah selesai pembangunannya, diupacarai tahun 1283 Saka = 1361 Masehi.
  • Perbaikan dan upacara yang ke dua tahun 1556 Saka = 1634 Masehi.
  • Pada saat berkuasanya I Gusti Putu Pacung, juga diadakan upacara pada tahun 1560 Saka = 1638 Masehi.
  • Pura Giri Kusuma sudah berdiri tahun 1361, untuk pemujaan Sanghyang Siwa dan penyiwinya adalah masyarakat Singhasari (Blahkiuh) dan krama Subak di sekitarnya.
  • Yang perlu mendapatkan perhatian adalah I Gusti Putu Pacung penguasa Singhasari, utamanya adalah masa pemerintahannya.

Sedangkan dalam buku THE SPELL OF POWER  yang ditulis oleh Henk Schulte Nordholt, seorang Guru Besar Sejarah Asia Tenggara di Universitas Erasmus Rotterdam dan dosen senior di Jurusan Sejarah dan Antropologi di Universitas Amsterdam, menyatakan bahwa dalam masa pemerintahan I Gusti Putu Mayun, membangun Pura Giri Kusuma atau “Bukit Bunga” pada tahun 1928, di seberang Puri di sebelah barat daya perempatan utama.

Pura tersebut menggantikan pelinggih batu kecil yang dibangun oleh  G. Made Ringkus, yakni pada tahun 1900. Fungsi “politis” dan tempat “keagamaan” ini terekspresi dalam berbagai cara. Pertama Pura ini melambangkan dunia, yang merupakan wilayah kekuasaan punggawa. Pura yang dikelilingi oleh parit yang lebar ini terdiri dari 2 bagian : bagian depan (jabaan) dan disebelah utaranya di tanah yang lebih tinggi adalah jaba tengah. Air yang terdapat di sana melambangkan laut, jabaan melambangkan daratan, jaba tengah yang lebih tinggi melambangkan pegunungan.

Tidak diragukan lagi  Gusti Putu Mayun membangun pura kerajaan dengan mencontoh Pura Taman Ayun di Mengwi sebagai model. Melalui pura kerajaan ini, punggawa tersebut menyatakan kekuasaannya dengan cara yang lebih mudah dimengerti oleh orang-orang dari pada berbagai aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Dengan peraturan-peraturan yang ada beliau dapat memaksakan para pekerja, bagi para seniman menghias dinding-dinding pura dan pelinggih dengan berbagai relief.

Pura ini memancarkan cahaya kesempurnaan, sehingga mencerminkan sekali tentang kedudukan penting Gusti Putu Mayun sebagai Raja Pelindung. Demikian juga untuk menarik perhatian masyarakat Blahkiuh, Gusti Putu Mayun membuat sebuah Baleagung yang besar dan megah, yang juga meningkatkan status desa tersebut.

Baleagung itu tempat pertemuan masyarakat desa atau krama desa, yang seharusnya ditempatkan di Pura Desa bagian timur Blahkiuh. Bersamaan dengan itu juga menyumbang sebuah kulkul baru  yang diletakkan di jabaan Pura Giri Kusuma. Tidak hanya desa Blahkiuh saja, daerah di sekitarnya juga terkena daya tarik Pura Giri Kusuma, hal ini disebabkan dari Pura Giri Kusuma inilah muncul tirtha (air suci) dan air irigasi. Untuk menolak gagalnya panen, beliau mendirikan palinggih Pasimpangan Pura Batu Ngaus. Pura yang terdapat di pesisir pantai yang berfungsi untuk menangkal gagal panen dan wabah yang berasal dari laut dan merembet ke daratan.

Gusti Putu Mayun juga membuat sebuah permandian umum yang berdekatan dengan kolam besar, pada tahun 1928. Pendirian sebuah Padmasana diperuntukkan untuk memuja Danghyang Nirartha, yakni leluhur para Brahmana Siwa di Bali.

Puri Mayun dan Pura Giri Kusuma, bersama-sama melambangkan puncak hirarki regional dan menunjukkan ciri kerajaan di Blahkiuh, sehingga Pura Giri Kusuma oleh masyarakat Blahkiuh untuk menyebut Pura tersebut, yakni disebut Pura Kerajaan.

Sedangkan jika melihat Jajar Kemeri atau Jajar Pelinggih di Pura Giri Kusuma, adalah sebagai berikut :

Jeroan

  • Peliangan
  • Pelinggih Ratu Ngurah Sakti
  • Pelinggih Ratu Gde Sakti
  • Malanting, pelinggih pasar
  • Bale Pelik
  • Pasimpangan Pura Batu Ngaus
  • Surya
  • Pelinggih Danghyang Nirartha
  • Gedongsari
  • Pelinggih Bhatara Manik Galih/Bhatari Sri
  • Bale Paselang
  • Pawedan
  • Bale Gong
  • Bale Piasan

Jaba Pura

  • Bale Kulkul
  • Baleagung
  • Parit
  • Glebeg/Lumbung Padi

Leave a comment