Upacara Ngedeblag

Selain Desa Wisata Penglipuran dan Ambengan, Bali juga mempunyai desa wisata yang tak kalah menariknya, yaitu Desa Wisata Kemenuh, desa yang terletak di Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar ini merupakan desa yang dihuni oleh penduduk yang masih kuat memegang teguh tradisi nenek moyangnya.

Desa yang telah dicanangkan sebagai salah satu Desa Pariwisata Budaya di Bali tahun 2011 ini menyimpan potensi wisata terutama panorama alamnya yang indah mempesona. Selain itu, di desa ini memiliki jalur tracking yang dibuat menyusuri sawah, selain itu suasana desa yang masih alami menambah daya tarik. Di pinggir desa mengalir Sungai Petanu yang jernih airnya dan tiada habisnya. Sepanjang jalan desa ini banyak terdapat art shop yang menjual beraneka patung kayu berbentuk binatang seperti burung, kucing, ayam, jerapah dan lain-lain yang sangat mirip dengan aslinya. Banyak wisatawan yang datang kesini untuk melihat dan membeli hasil kerajinan desa ini.

Jarak tempuh yang diperlukan jika anda ingin berkunjung ke Desa Kemenuh ini kurang lebih 14 km dengan waktu perjalanan kira-kira 25 menit dari Kota Denpasar. Desa Kemenuh berjarak hanya 10 menit dari Ubud.

Ada baiknya berkunjung saat desa ini menyelenggarakan Tradisi Upacara Ngedeblag. Upacara ini cukup unik dan hanya dilakukan di desa Pekraman Kemenuh. Prosesi ini dirayakan di setiap Hari Kajeng Kliwon menjelang peralihan Sasih Kelima dan Sasih Keenam (Kalender Bali) yang digelar sekali dalam setahun, tujuannya untuk mengatisipasi perubahan musim yang akan datang sehingga terhindar dari segala bencana, seperti longsor, banjir maupun penyakit dan diberkahi keselamatan. Upacara ini dilakukan secara turun temurun oleh warga Kemenuh.


Sejarah Tradisi Ngedeblag

Setiap tradisi di masyarakat khususnya tradisi di daerah Pulau Bali, memiliki sejarahnya masing-masing, termasuk Tradisi Ngedeblag ini. Ritual ini merupakan upacara turun-temurun yang dilakukan setiap Kajeng Kliwon menjelang Sasih Kanem. Ritual ini berawal dikarenakan pada masa lalu banyak terjadi bencana, seperti : banjir, longsor ataupun berbagai wabah penyakit. Maka untuk menghindari warga dari berbagai bencana, dilakukan suatu ritual yang diyakini dapat mencegah bencana, yaitu Ngedeblag. Sejarah tradisi Ngedeblag ini tidak dapat ditelusuri lebih detail dikarenakan tradisi Ngedeblag hanya dituturkan secara lisan atau dari mulut ke mulut.


Prosesi Tradisi Ngedeblag

Tradisi Ngedeblag di Desa Kemenuh adalah suatu acara suci (sakral) yang diwarisi dari generasi terdahulu yang dirayakan di setiap Hari Kajeng Kliwon menjelang peralihan Sasih Kelima dan Sasih Keenam (Kalender Bali). Dalam ritual ini penduduk Desa Kemenuh melakukan ritual keagamaan terkait dengan diawalinya sasih (bulan) kelima Kalendar Bali dengan menghaturkan pakeling (memberitahu kepada Tuhan) dengan serana upakara (banten) di semua Pura Kahyangan Tiga dan Kahyangan Alit.

Ngedeblag wajib diikuti oleh para karma desa khususnya para pemuda dan pemudi. Sebelum dilaksanakannya tradisi Ngedeblag, terlebih dahulu diawali dengan berbagai macam persiapan, yaitu sebagai berikut:

  • Anak-anak umur 5 – 10 tahun membawa papah sebagai jaka simbol hutan.
  • Anak-anak umur 10 – 17 tahun membawa kukul yang terbuat dari batang pohon bambu.
  • Masyarakat dewasa membawa alat atau perabotan apa saja yang bisa dibunyikan, seperti gong lanang, besi, terompet, dan lainnya. Semua laki-laki mengenakan perhiasan yang seram dan menakutkan, seperti semua pengiring Ida Ratu Agung (Barong Landung). Sedangkan perempuan membawa upakara yang dihaturkan di Pura Dalem dan di setiap Catus Pata.

Prosesi Ngedeblag dimulai pukul 12.00 siang hari. Masyarakat mengawalinya dengan melakukan sembahyang bersama dan kemudian dipercikkan tirta kepada warga, gong, kulkul dan alat-alat yang lain dibunyikan. Ida Ratu Agung tedun diawali dengan batang pohon jaka yang dibawa oleh anak-anak, diikuti oleh semua kelengkapan Ngedeblag yang diikuti oleh semua masyarakat Pakraman Kemenuh.

Mereka berjalan keliling desa sambil membawa air suci (memundut tirta), dengan mengarak sepasang barong sakral, sambil membunyikan gamelan, kentongan, ataupun perabotan rumah tangga, daun pohon enau, untuk kemudian menggelar arak-arakan keliling desa. Setiap melewati ujung desa sepasang barong tersebut diupacarai. Di setiap persimpangan jalan, para ibu bersiap menyambut kedatangan arak-arakan dengan sesajen, menghaturkan puja-puja untuk pembersihan alam, dan menetralisir roh-roh negatif atau masyarakat sekitar sering menyebutnya dengan istilah Menyomia Kala.

Tujuan Ngedeblag ialah memohon keselamatan alam Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit (alam dan segala isinya), karena diyakini pada bulan Sasih Kelima Kalendar Bali sering terjadi penyakit yang disebarkan oleh virus yang kita tidak tahu asal muasalnya dan maka dari itulah dimohonkan kepada Ida Hyang Widhi Wasa untuk dianugerahi keselamatan dan juga terhindar dari cuaca buruk (pancaroba), seperti hujan, angin kencang serta panas yang menyengat. Untuk itulah mereka mengadakan ritual Ngedeblag dan mengadakan persembahan upakara khusus di pakeraman yaitu caru di setiap lebuh
angkul-angkul warga adat di setiap pertemuan hari dengan panca wara yang disebut kajeng keliwon, menghaturkan sesajen caru alit dengan berbagai upakara dan tirta caru yang sebelumnya telah dimohonkan di Pura Dalem Agung sebelum acara ngedeblag dimulai.


Pakaian Tradisi Ngedeblag

Setiap tradisi memiliki ciri khasnya masing-masing, entah itu dari segi sarana, prasarana, atau pun cara pelaksanaanya. Seperti tradisi yang lain, Ngedeblag juga memiliki keunikan dari segi pakaian yang digunakan. Adapun pakaian yang digunakan para krama desa yang mengikuti tradisi ini adalah kamben yang dilapisi oleh saput tanpa mengenakan baju (laki-laki). Bagian wajah diolesi berbagai macam warna yang akan menimbulkan kesan menyeramkan dan pada keningnya diolesi pamor (colek pamor). Pada bagian kepala, ditutupi kukusan.


Musik Pengiring Tradisi Ngedeblag

Faktor pendukung sebagai pelengkap dalam sebuah tradisi adalah gambelan. Dimana gambelan sebagai pengiring jalannya sebuah upacara yadnya yang memberikan keharmonisan upacara ini sendiri sesuai apa yang dipaparkan dalam ajaran agama mengenai yadnya. Kali ini kita akan membahas mengenai gambelan yang mengiringi jalannya tradisi Ngedeblag. Tradisi ini memakai gambelan yang di Bali sering disebut baleganjuran. Baleganjuran terdiri dari gambungan beberapa alat musik, sebagai berikut :

  • 1 buah kendang lanang
  • 1 buah kendang wadon
  • 4 buah reong (dong, deng, dung, dang)
  • 2 buah ponggang (dung, dang)
  • 8 – 10 buah cengceng
  • 1 buah kajar
  • 1 buah kempli
  • 1 buah kempur
  • 1 pasang gong (lanang-wadon)
  • 1 buah bende

Para karma desa juga membawa alat-alat atau perabotan yang bias dibunyikan selama mengitari desa, seperti kulkul, panci, dan lain-lain. Apa yang telah disebutkan diatas adalah alat musik atau gamelan yang digunakan dalam tradisi Ngedeblag.


Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat kami simpulkan bahwa tradisi Ngedeblag adalah suatu acara suci yang diwarisi dari generasi terdahulu yang berada di desa Pakraman Kemenuh, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali yang diadakan setiap tahun pada Hari Kajeng Kliwon menjelang peralihan Sasih Kelima dan Sasih Keenam.

Tradisi ini dilaksanakan terdiri dari karma desa bergerombol dengan hiasan yang menyeramkan atau penampilan wajah yang dicoret-coret. Mereka berjalan keliling desa sambil membawa air suci.

Tujuan Tradisi Ngedeblag adalah untuk pembersihan alam, dan menetralisir roh-roh negatif.

One thought on “Upacara Ngedeblag

  1. Pingback: Keunikan Tradisi Ngedeblag Bali – LPM Hippocampus

Leave a comment