Ksira Arnawa Manthana (Pemutaran Lautan Susu)

Tersebutlah para Dewa berunding di Puncak Gunung Mahameru. Para Dewa merundingkan tentang mendapatkan Amreta. Golongan Ditya dan Danawa ikut juga berunding, karena menghendaki Amreta pula. Sanghyang Narayana (Sanghyang Wisnu) memerintahkan para Dewa agar memutar lautan susu agar Amreta itu keluar.

Sanghyang Anantabhoga lalu mencabut Gunung Mandhara beserta isinya dan dijatuhkan di Laut Ksira, akan dipakai sebagai pengaduk laut itu. Pada saat itu para Dewa memohon ijin kepada Sanghyang Bharuna sebagai dewanya laut. Sanghyang Bharunapun mengijinkan agar nantinya semua mahluk mendapatkan keselamatan.

Seekor penyu (Badhawangnala), bernama Akupa, ia disuruh menahan gunung Mandhara, sebagai dasarnya agar tidak tenggelam. Sanghyang Basuki (Naga Basuki) sebagai talinya, membelit pada lereng gunung dan Sanghyang Indra ada di puncak gunung, merupakan beban, agar supaya tidak melambung ke atas.

Para Dewa ada di bagian ekornya naga, golongan Daitya ada di kepalanya naga. Lalu ditariknyalah naga tersebut, sehingga Gunung Mandhara berputar, sampai mengeluarkan api. Karena dengan derasnya berputar Gunung Mandhara, anginpun bertiup dengan kencangnya, apipun berkobar-kobar, lalu Dewa Bharuna memberi perlindungan pada alam beserta isinya, agar terhindar dari bahaya.

Kemudian keluarlah minyak dan air susu itu, serta keluarlah pula Ardhacandra (Bulan Sabit), Bhatari Sri, Dewi Laksmi, lalu Uccaihsrawa dan kemudian Kastubhamani. Amreta itu keluar hanya ada dipihak para Dewa, tiada satupun yang ada dipihak Daitya. Akhirnya keluarlah Dhanwantari membawa Sweta Kamandhalu, yakni tempat Amreta. Ketika itu pula diambil oleh para Daitya, dipakai tempat Amreta.

Para Dewa tertegun, lalu Sanghyang Wisnu berpikir untuk mendapatkan Amreta tersebut. Kemudian Bhatara Wisnu merubah dirinya menjadi seorang putri yang cantik, datang mendekat kepada Daitya. Semua yang melihat tertarik olehnya. Melihat putri itu Daitya sangat senang hatinya, Amreta yang dibawa itu diserahkannya agar dipangku oleh putri yang cantik itu. Putri itu lalu pergi membawa Amreta, kemudian pulih menjadi Bhatara Wisnu.

Hal itu diketahui oleh para Daitya, marahlah mereka, lalu berkemas lengkap dengan senjatanya dan mengejar Sanghyang Wisnu. Dewa Brahma dan Dewa Iswara memberi pertolongan kepada Dewa Wisnu, terjadilah perang hebat, namun tidak ada yang kalah karena sama-sama sakti. Dewa Wisnu teringat bahwa beliau mempunyai senjata yang bertuah yakni Narayana Astra. Dengan kesaktian senjata Narayana itu para Daitya ada yang mati, ada yang lari dan ada juga yang bersembunyi.

Sesudah para Daitya (raksasa) kalah, maka Dewa Wisnu dan para Dewa yang lain, pergi ke Wisnu Loka dengan membawa Amreta. Setibanya di Wisnu Loka para dewa meminum Amreta, itulah sebabnya para Dewa tidak bisa mati. Ada Daitya (raksasa) mengetahui hal itu lalu merubah dirinya menjadi Dewa, agar dapat meminum Amreta tersebut. Maka merekapun dapat meminumnya, sehingga bersenang hati. Hal itu diketahui oleh Sanghyang Surya Candra, lalu menyampaikan kepada Dewa Wisnu.

Dewa Wisnu segera bertindak, yang mana saat itu Amreta baru sampai di lehernya, maka dengan sigap Dewa Wisnu melepaskan senjata Narayananya, putuslah lehernya, badannya jatuh ke tanah dan kepalanya masih hidup, itulah yang menjadi Kalarahu.

Tersebutlah dengan munculnya kuda Uccaihsrawa, didengar oleh Dewi Kadru, ada kuda putih yang amat bagus, keluar dari lautan susu. Hal itu disampaikan kepada Dewi Winata, serta mengatakan kuda Uccaihsrawa itu badannya putih, tetapi sayang pantatnya hitam. Dewi Winata mengatakan : “kuda itu mulus, tiada celanya”. Oleh karena mereka berdua bersikeras mempertahankan pendapatnya masing-masing, akhirnya bersumpah. Dewi Kadru bersumpah, siapa yang kalah harus bersedia menjadi budak.

Setelah mengeluarkan sumpah, maka datanglah para naga, putra dari Dewi Kadru. Putranya menyatakan bahwa kuda Uccaihsrawa itu memang putih mulus tiada cacatnya. Oleh karena itu Dewi Kadru merasa kalah, sehingga ia meminta belas kasihan anaknya, agar berbuat supaya pantat dari kuda tersebut hitam, jika tidak ibu akan menjadi budak Dewi Winata.

Pada mula anak-anaknya tiada bersedia untuk berbuat yang salah, tetapi karena ancaman ibunya, maka para naga memerciki bisa (racun) pada pantat kuda tersebut. Lalu Dewi Kadru mendatangi Dewi Winata, untuk menyaksikan keberadaan kuda tersebut. Dengan keadaan yang demikian Dewi Winata kalah dan menjadi budaknya Dewi Kadru, dengan tugas mengemban anak-anaknya para naga.

Ketika Dewi Winata diperbudak oleh Dewi Kadru, waktu itulah Sang Garuda lahir. Sang Garuda lalu menanyakan ibunya, mengapa bisa menjadi budak Dewi Kadru. Hal itu semua dijelaskan oleh ibunya, sehingga Sang Garuda merasa kasihan dan menggantikan tugas ibunya.

Para naga sekarang menjadi asuhan Sang Garuda. Para naga itu sangat nakal, mereka pergi terpencar, sehingga Sang Garuda merasa kawalahan, yang menentang perintahnya dimakan oleh Sang Garuda. Akhirnya permasalahan itu disampaikan kepada ibunya, namun ibunya mengatakan, seorang budak tidak boleh menentang majikan. Tetapi dahulu kekalahan ibu sampai menjadi budak, karena ulah para naga, yang memerciki bisa pada pantatnya kuda. Berkatalah Dewi Winata kepada Sang Garuda, “Namun sekarang anakku agar mendekat kepada para naga, memohon apa yang dipakai untuk menebus kesalahan ibu, agar dapat terbebas dari perbudakan.”

Sang Garuda bertanya kepada para naga : “Hai kamu para naga ? Apakah yang dapat kutebuskan untuk ibuku ?”

Para naga menjawab, katanya : “Kalau engkau akan membayar hutang ibumu untuk tidak menjadi budakku; ada Amreta, hasil para Dewa dalam mengaduk lautan susu; ambillah itu untuk menebus ibumu, supaya ibumu tidak menjadi budak lagi”. Demikianlah kata para naga, Sang Garuda pun amat senang, ia lalu minta diri kepada ibunya untuk mendapatkan Amreta.

Dengan ketulusan hati Sang Garuda, ia mendapatkan perlindungan dari para Dewa, Sanghyang Bayu melindungi ke dua sayapnya; punggungnya dijaga oleh Sanghyang Candra, adapun yang menjaga kepalanya adalah Sanghyang Agni.

Tiada diceritrakan dalam perjalanan, sampailah mereka pada sebuah telaga di lereng Gunung Himawan, lalu melanjutkan terbangnya sampailah di Gunung Somaka tempat Amreta itu. Sang Garuda datang, yang didahului oleh angin kencang, kilat dan cahaya, yang membuat mata menjadi buta. Semua arah tiada nampak, bagaikan tertutup awan. Para Dewa menjadi gundah-gulana, demikian pula Hyang Indra. Sang Wainateya (Garuda) melayang-layang di udara untuk mencari Amreta. Ia dipanah oleh sekalian dewa, ditikam, dicakra, bermacam-macam senjata dilepaskan oleh golongan Dewa. Semua tiada mengenainya, semua tumpul, patah, sehelai bulupun tak ada yang terlepas. Berbagai rintangan yang didapatkannya, namun semuanya dapat diatasinya. Akhirnya Amreta Kamandhalu dapat diambilnya. Ketika Sang Garuda sedang melayang di udara, Dewa Wisnu datang, berkata kepadanya : “Jika engkau ingin mendapatkan Amreta agar meminta kepadaku, aku akan memberimu”.

Demikianlah kata Bhatara Wisnu, menjawab sang Garuda, katanya : “Tidak sepantasnya engkau menganugrahiku, karena kesaktianmu kalah dengan kesaktianku, karena Amreta itulah engkau tiada mengenal tua dan mati. Tetapi aku, tidak mengenal tua dan mati, meskipun tidak meminum Amreta”.

Bhatara Wisnu, menjawab : “Sang Garuda, kata-katamu itu benar, tiada salah sedikitpun. Kasihanilah aku, tentunya engkau tiada berdusta. Engkau hendaklah menjadi kendaraanku dan demikian juga aku akan terakan (tuliskan) pada benderaku “. Sang Garuda memikirkan hal itu dan tidak mau akan ingkar janji. Akhirnya ia mau, itulah sebabnya Sang Garuda menjadi kendaraan Dewa Wisnu. Mulai saat itulah Sang Garuda bersekutu dengan Dewa Wisnu.

Demikianlah sekilas ceritra tentang Sang Garuda merupakan wahana (kendaraan) Dewa Wisnu.

Sumber : Adi Parwa

One thought on “Ksira Arnawa Manthana (Pemutaran Lautan Susu)

  1. Pingback: Monumen Perjuangan Rakyat Bali (Bajra Sandhi) | ...blog nak belog...

Leave a comment